Minggu, 21 November 2010

Sabar dalam Kekalahan

Hari-hari kekalahan terus terjadi. Belum lama, minimal ada dua orang yang sangat kecewa. Dia adalah Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri. Keduanya, baru saja mengalami kekalahan di pemilu.Dan, hati mereka mungkin sekarang bagai teriris sembilu menyaksikan SBY-Budiono dilantik menjadi presiden-wakil presiden.

Bukan hanya mereka berdua yang kecewa. Ada banyak hati yang teriris sembilu karena jago mereka kalah. Sayang, pemilihan presiden tidak memberi peluang untuk hasil seri. Hanya satu: kalah atau menang. Yang menang berbingar, yang kalah berteriak kecewa.

Sangat sulit, bagi saya, untuk bisa mengerti bagaimana mungkin JK bisa kalah telak. Bahkan, ia hanya menempati di posisi paling buncit. Ya, sudahlah, sudah kalah, mau menangis tiga jam tiga malam, tetap tidak akan mengubah keadaan.

Yang penting, meski kalah tetapi tetap bisa bersabar. Orang-orang yang berkompetisi, biasanya, semua ingin menang. Sayang, tidak semua bisa menjadi pemenang. Bahkan, jika kita jujur, dalam hidup ini justru lebih banyak yang kalah dibanding sebagai pemenang. Tidak heran, bila jumlah orang meskin di dunia jauh lebih banyak dibanding dengan orang yang berada di status kaya.

Kaya, jelas ukurannya adalah materi. Bukan yang lain. Padahal, lebih banyak orang meski yang kaya hati, dibandingkan dengan orang kaya. Orang kaya secara ekonomi, bisa juga kaya secara hati. Ini jarang.

Jika dalam hidup orang yang kalah lebih banyak, mestinya yang stress lebih banyak juga. Kenyataannya tidak. Yang banyak stress, justru orang-orang yang secara ekonomi tergolong mapan. Kaum papa, malah tidak pernah stress. Mereka tidak pernah pusing dengan semua problem yang dihadapi. Bahkan, tidak makan sehari pun, tetap santai. Setidaknya tidak ada orang yang bunuh diri karena tidak bisa mendapatkan makanan.

Saya punya kenalan yang bisa dengan tenang memaknai kekalahan. Sebut saja teman kita itu Kusnaini. Dia dulu punya kegemaran berjudi. Kusnaini ini bukan penjudi kelas teri. Jika berjudi, bukan seratus ribu yang dipertaruhkan. Tapi, minimal Rp 100 juta. Sekali kalah, mungkin bisa miliaran.

Di mana ia bisa berjudi? Kusnan berjudi bersama para gambler di tempat yang nyaman. Hotel, kapal pesiar, atau bahkan Las Vegas. Asal tahu saja, Kusnan ini memiliki members card penjudi di Genting Hightland dan Crismas Island. “Lihat saja kalang nggak percaya?” kata Kusnan membuka isi dompetnya.

Untuk menjadi anggota penjudi elit ini, dia minimal harus berkunjung ke sana minimal sekali sebulan (jika tak salah). Sekali bertaruh, paling sedikit Rp 100 juta. Ia pernah bercerita, suatu kali menang hingga membawa koin judinya pun ia tak sanggup. “Pokoknya banyak banget.”

Jika dia menang, maka garasi mobilnya akan penuh dengan mobil-mobil bermerek kelas atas. Bukan tanpa alasan ia investasi dengan mobil. “Gampang jualnya, jika saya perlu uang,” katanya.

Soal kalah? “Wah saya pernah bangkrut. Habis semuanya,” kata Kusnan yang biasa berkaca mata hitam ke manapun pergi ini. Kusnan mengaku dia biasa kok kalah. Ya namanya penjudi, tak pernah kapok. Judi telah menjadi candu.

Meski sering kalah daripada menang, Kusnan, tak jera-jera juga. Ia tidak pernah stress. “Ya seperti sampeyan main tenis Mas. Pernah kalah main tenis terus stres? nggak kan? Besoknya main lagi kan?” katanya.

Di dalam hidup, Kusnan memang mirip penjudi. Ia berulang kali mengalami pasang surut. Bangkrut, bangkit, bangkrut lagi. Apa yang membuatnya berhenti? “Saat anak saya ketahuan berjudi,” katanya.

Anak lelaki Kusnan, pernah ditangkap guru di kelas karena berjudi dengan teman-temannya. “Saya seperti ditampar. Kalau anak saya jadi penjudi, wah bisa bahaya,” katanya.

Dia berhenti. Ya berhenti. Karena berhenti berjudi, semua “kejahatan” yang biasa dia lakukan ikut pula berhenti. Misalnya, dia tidak pernah datang ke dukun lagi. Ia berhenti “jajan” seks. Ia juga berhenti minenggak minuman keras.

Semua ini bukan pekerjaan mudah. Tidak seperti menginjak pedal rem, yang membuat mobil bisa berhenti. Dia harus bertempur dengan syahwatnya. Ia bertarung dengan kata-kata menyakitkan dari teman-temannya yang masih aktif berjudi.

Ia beruntung punya istri yang bisa menempatkan diri. memberi semangat dan membimbing ke jalan yang lurus. Dan, kunci suksesnya sebenarnya adalah “hijrah.” Ia ganti nomor telepon, pindah rumah, dan berganti teman. Semua ia tinggalkan.

Dan, ia merangkak dari bawah lagi. “Gak papa, jika Alloh mengambil aku hari ini, aku sedikt lebih siap,” katanya.

Saya jadi teringat sebuah hadis di kitab Shohih Buchori, tentang kisah penjahat yang hendak bertaubat. Dia sudah membunuh 99 orang. Dia mendatangi seorang pendeta, bertanya, apakah dirinya bisa diterima taubatnya? Si pendeta menjawab, “Tidak mungkin. Dosamu terlalu banyak,” katanya.

Si Penjahat marah, dan ditebaslah leher orang itu. Maka, lengkaplah 100 orang korban kekejamannya. Dia pergi ke seorang alim. Jawaban yang diperoleh sungguh melegakan. “Bisa. Alloh maha pemaaf. Tinggalkanlah kaummu dan pergilah ke tempat lain, di sana kamu bisa bertaubat dan mengubah hidup,” kira-kira begitu nasehatnya.

Diperjalanan, dia meninggal. Beruntung jarak yang ditempuh sudah lebih dekat ke kota tujuan. Maka, meski dia belum melakukan kebaikan, ia telah diterima taubatnya.


Source : http://belajarsabar.wordpress.com/category/sabar-menjalani-hidup/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar